“Jejak Cinta di Tiga Negara — Semua berawal dari Bandung”

Diangkat dari kisah nyata salah satu peserta Travora.id ketika melakukan perjalanan di 3 negara

Abhan

9/10/2025

“Kembali ke Bandung”

Berbulan kemudian, aku duduk lagi di taman Bandung yang sama.
Tapi kali ini tidak sendiri.
Di sebelahku, perempuan yang dulu kutemui di Merlion Park sedang menatap langit sore.

Aku memotretnya sekali lagi, bukan untuk kenangan, tapi untuk bukti bahwa kadang cinta tidak perlu dicari.
Ia hanya menunggu di antara langkah-langkah kita, di satu tempat yang disebut: "Perjalanan".

_________________

"Tempat aku belajar pergi"

Bandung pagi itu sejuk seperti biasa. Aku duduk di bangku taman, menatap daun-daun yang jatuh tanpa bunyi.
Ada sisa percakapan yang tak selesai di hatiku, tentang seseorang yang tak sempat aku genggam lebih lama.
Aku mengambil satu foto bangku kosong di bawah pohon flamboyan.

Dalam hati aku menulis: “Mungkin pergi adalah satu-satunya cara untuk menemukan arah baru.”

"Hujan, kopi dan keputusan"

Di sudut kafe kecil di Jalan Braga, aku menatap kopi yang mulai dingin.
Di luar, hujan turun pelan. Di dalam, aku menyusun keberanian untuk meninggalkan kota yang penuh kenangan.

“Aku akan pergi,”

bisikku pada diri sendiri.

Dari balik jendela, aku memotret bayangan diriku sendiri.

Aku tidak tahu siapa yang kulihat, lelaki yang masih mencari, atau lelaki yang baru akan memulai hidupnya kembali.

Di atas meja, terbentang tiket dan peta Asia Tenggara.
Jari telunjukku berhenti di titik pertama: Kuala Lumpur.
Satu foto terakhir di Bandung sebelum perjalanan dimulai dengan catatan di bawahnya:
“Aku tidak tahu ke mana arah ini membawaku, tapi semoga hatiku ikut sampai.”

"Langit baru, hati yang mulai pulih"

"Langit yang

sama, perasaan

yang berbeda"

Di bawah cahaya perak menara kembar, aku merasa kecil tapi bebas.

Angin sore menyapu wajah, dan entah kenapa aku merasa lebih ringan.

Di tengah keramaian, aku mengambil selfie untuk pertama kalinya tersenyum tanpa pura-pura.

Anak tangga warna-warni menuntunku naik pelan-pelan.

Setiap langkah seperti menurunkan beban lama.

Di puncak, aku berdoa diam-diam, bukan untuk cinta baru, tapi untuk hati yang mau mencoba lagi.

“Langkah

dan

Doa”

Kabin melayang di atas kabut.
Aku menatap ke bawah, ngeri sekaligus takjub.
Hidup ternyata seperti ini; kadang menakutkan, tapi kalau kita berani menatap ke luar, pemandangannya indah sekali.

“Langit dan Keberanian”

"Di Kota Ini, Aku Bertemu Dengannya"

Kami bertemu lagi sore itu, tanpa rencana.
Ia memotret langit di bawah pohon cahaya, aku memotret dirinya. Dua fotografer amatir, tapi dengan hati yang sedang belajar fokus.

Ia harus terbang ke Bangkok, aku masih di Singapura satu malam lagi.
Kami berjanji untuk bertemu lagi “Kalau semesta izinkan,” katanya.
Aku mengambil foto terakhirnya dari jauh, di gerbang keberangkatan.
Dalam caption aku tulis: “Kadang yang membuat perjalanan berarti bukan tempatnya, tapi siapa yang kita temui di tengahnya.”

“Bunga Cahaya dan Tatapan Pertama”

“Perpisahan yang Tak Sungguh Pergi”

Hari terakhirku di Singapura kuhabiskan sendirian di Universal. Tapi setiap kali melihat orang tertawa, aku teringat dirinya. Di depan globe raksasa, aku memotret bayangan sendiri dan berbisik:
“Semoga ini bukan akhir bab, tapi jeda sebelum halaman berikutnya.”

"Di negeri seribu senyum, Aku menemukan rumah"

Di tengah kuil putih itu, aku melihatnya lagi.
Ia berdiri dengan kamera di tangan, dan matanya membulat saat mengenaliku.
“Kamu di sini?”

Aku tertawa, “Mungkin semesta belum puas mempertemukan kita.”

Ia takut naik, aku menggenggam tangannya pelan.

“Tenang!” kataku.

“Kita tinggi, tapi aman.”

Dan di atas punggung gajah itu, di bawah langit Chiang Mai,
aku sadar aku tidak sedang dalam perjalanan lagi, aku sedang pulang.

Kami berdua berdoa diam-diam di saat pertemuan itu kembali ditakdirkan.

Aku tidak tahu apa yang ia minta, tapi aku tahu doaku berisi namanya.

"Tuhan pasti tau apa yang aku inginkan" gumamku dalam diam.

Di tepi sungai, seseorang menawariku untuk memotretku.
Ia turis juga, perempuan dengan topi jerami dan kamera mirrorless.


Ia tersenyum dan berkata, “Senyum sedikit, biar fotonya hidup.”
Entah kenapa, dadaku ikut hidup juga.

Kami naik tuk tuk sambil tertawa, rambutnya berantakan, matanya bersinar.

Jalanan berkelok, tapi anehnya, aku tidak peduli ke mana arah kami.
Selama ia duduk di sampingku, semua jalan terasa benar.

Ia memilih salah satu souvenir khas negeri gajah, lalu memberikannya padaku.

“Supaya kamu ingat, perjalanan ini nyata.”

Aku hanya tersenyum, karena aku tahu, bahkan tanpa benda itu, aku akan selalu mengingatnya.

Lampu-lampu pasar malam menggantung seperti bintang.
Kami menari kecil di antara musik jalanan, tanpa peduli siapa yang melihat.


Malam itu, dunia seolah mengecil, hanya menyisakan kami berdua dan tawa yang tulus.

Di tepi pantai, ombak menyapa kaki kami pelan. Ia memotretku, lalu aku memotret balik.

“Nanti kalau kangen, lihat foto ini,” katanya.

Aku menjawab, “Kalau kangen, aku akan datang langsung.”

Matahari turun perlahan, dan aku tahu perjalanan ini sudah lengkap. Bukan karena aku melihat banyak tempat,
tapi karena aku akhirnya tahu, "ke mana hatiku ingin pulang."

Narasumber: H. Saefullah